Ketika memutuskan anak untuk bersekolah, ada
banyak pertimbangan orangtua. Beberapa beralasan, usia mereka sudah cukup untuk
bersekolah dan ada yang lain beralasan anak mereka telah siap secara mental
walaupun umur belum mencukupi. Ada juga yang beralasan karena anak mereka lebih
baik berada di sekolah, dibandingkan berada di rumah sebab tak punya teman dan
kehidupan sekolah bisa mengajarkan banyak terutama bersosialisasi.
Sayang, banyak orangtua akhirnya melupakan
beberapa faktor penting. Antara lain, mereka lupa kalau sekolah adalah sebuah
langkah besar untuk seorang anak. Mungkin bagi orangtua, sekolah hanya dilihat
dari segi fungsional semata. Tapi buat seorang anak, sekolah bisa menjadi
tempat yang menyenangkan namun sebaliknya bisa menjadi tempat paling mengerikan
untuk mereka.
Fundamental mendasar untuk mengambil keputusan
menyekolahkan mereka tentu saja adalah anak itu sendiri.
Berapa sebenarnya umur yang tepat bagi
anak untuk memulai pendidikannya?
Ini yang agak sulit dijawab. Saya pernah melihat
brosur PG/PAUD yang menawarkan pendidikan untuk anak usia 3-4 tahun, lalu ada
Toddler yang melayani pendidikan untuk anak di usia yang lebih rendah dari 3
tahun. Hal inilah yang banyak menimbulkan kebingungan bagi orangtua terutama
yang belum memiliki pengalaman mendidik anak. Akhirnya timbul pemikiran bahwa
menyekolahkan anak makin cepat makin baik, apalagi dikelola oleh lembaga
pendidikan yang terkenal.
Padahal ada banyak sekali hal-hal yang harus
dipikirkan sebelum memasukkan anak ke sekolah, selain memilih sekolah dan jenis
pendidikan yang akan diperoleh anak.
Kesiapan fisik dan mental anak merupakan
hal utama dibandingkan menghitung usianya.
Setiap kali tahun ajaran baru tiba di beberapa TK
atau Playgroup atau PAUD, terlihat antrian orangtua yang mengantarkan putra
putri mereka pada hari pertama sekolah. Beberapa sekolah termasuk TK/PG/PAUD
menerapkan aturan pengenalan atau orientasi siswa selama satu minggu. Bedanya
kalau di pendidikan awal ini, orientasi siswa biasanya diisi dengan
dibolehkannya orangtua menemani anak selama jam pelajaran, atau ikut melihat
dan mengawasi anak-anak ketika berada di dalam kelas.
Namun yang terjadi kemudian, ada beberapa anak
yang tidak bisa ditinggalkan walaupun masa orientasi telah usai. Suara
tangisan, rengekan, jeritan hingga akhirnya menghalalkan cara-cara tak sehat
seperti membohongi anak, hingga menyuapnya dengan hadiah-hadiah. Akhirnya
sekolah malah memperkenalkan anak pada sesuatu yang tidak baik atau bersifat
negatif, yang sayangnya dibantu oleh orangtuanya sendiri.
Itu belum selesai. Bagaimana ketika anak ternyata
belum lepas dari diapersnya atau dotnya? Atau malah masih sangat tergantung
pada Ayah Bundanya. Ini yang kadang-kadang luput dari perhatian orangtua.
Setiap anak memiliki kesiapan mental yang
berbeda. Si A sudah bisa melewati toilet training pada umur 9 bulan tapi si B
berumur 3 tahun bahkan masih belum bisa membedakan mana BAB (buang air besar)
dan BAK (buang air kecil) karena selalu dipakaikan diaper.
Yang menjadi pengamatan saya akhirnya adalah
masalah toilet training dan kebiasaan nge-dot itu justru menjadi alasan utama
para orangtua memasukkan anak-anak mereka ke PAUD/PG/TK, karena mereka mengira
sekolah akan membantu anak-anak mereka cara latihan ke toilet dan melepaskan
dari kebiasaan nge-dot. Padahal ini bisa-bisa mendatangkan masalah baru yaitu
trauma dan tentu saja akhirnya mengubah fungsi pembimbing atau guru anak,
menjadi para pengasuh dadakan karena harus bolak-balik mengurus si ‘bayi’ besar
yang tidak siap.
Beberapa anak menunjukkan ciri-ciri ketidaksiapan
itu dengan gangguan kesehatan seperti muntah-muntah, mengeluh sakit perut
hingga nafsu makan yang berkurang. Ada juga yang mengalami perubahan sikap
seperti semakin nakal dan suka sekali sekali ‘membully’ teman-teman barunya.
Atau munculnya kebiasaan yang tidak ada sebelumnya misalnya mengompol,
menangis, menjerit dan lain-lain.
Siapkanlah mental si kecil jika memang usianya
sudah cukup. Beberapa sekolah swasta baik PAUD/PG/TK banyak yang melakukan
pemeriksaan mental terlebih dahulu untuk mengetahui seberapa siap anak ke
sekolah. Jika tidak ada, jangan takut untuk melakukan pemeriksaan mental dengan
psikolog. Anda sendiri juga bisa melakukan pemeriksaan kesiapan mental itu
dengan bertanya jawab seputar dunia sekolah, misalnya dengan memberitahu apa
yang akan dia dapatkan di sekolah dan apa yang tidak dapat ia temukan di
sekolah. Lalu tanyakan bagaimana perasaannya kalau ditinggal oleh Mama dan Papa
di sekolah dan bimbing dia cara mengatasinya, misalkan berdoa atau meminta
bantuan pada guru. Hal yang paling sering muncul dalam anak-anak yang baru
masuk sekolah adalah rasa cemas dan takut.
Karena itulah, jangan pernah
menakut-nakuti anak dengan sesuatu hal yang kelak akan dominan dalam hidupnya
(seperti pada guru, pada makhluk tertentu atau benda tertentu) atau terlalu
banyak memberinya sederet larangan. Anak yang sering dilarang
atau ditakut-takuti apalagi dibohongi akan menjadi anak yang penakut, mudah
cemas dan tidak percaya diri termasuk sulit pergi ke sekolah.
Ajarilah si Kecil cara menghadapi
ketakutan dan kecemasannya. Jika terus berlanjut sampai masa orientasi
lewat, maka cari penyebabnya (misalkan suara guru yang terlalu galak, takut
pada salah satu temannya dll)
Akan lebih baik, jika beberapa minggu
sebelum bersekolah kita sudah mengenalkan apa saja yang nanti akan dihadapinya
saat bersekolah. Seperti tingkah laku yang baik dalam kelas,
bersalaman, mematuhi perintah guru dan mengurus dirinya (sebatas kemampuannya
tentu saja). Ini khusus untuk anak-anak yang masuk TK. Untuk PAUD dan PG,
biasanya tergantung kebijaksanaan masing-masing lembaga yang menyelenggarakan.
Namun ada baiknya memasukkan anak-anak itu tetap memperhitungkan dua aspek di
atas yaitu usia dan kesiapan mental anak.
Selain itu, sebagai orangtua kita juga harus
mempersiapkan diri menghadapi tingkah anak yang mungkin di luar
dugaan. Ingat Ayah Bunda! Jangan halalkan yang haram untuk
mengajarkan kebaikan ya… seperti berbohong dan membodohi anak.
Dan terakhir tentu saja, ajarilah anak
untuk mampu mengatasi ketakutannya dengan berdoa pada Tuhan sesuai
kepercayaannya, bahwa Allah akan menjaganya walaupun kita tak berada
di sisinya. Dengan mengajarkan beberapa doa pendek, anak akan memiliki bekal
yang cukup untuk memasuki sekolah barunya.
Seberapa pintarpun seorang anak, yang terpenting
adalah mengembangkan akhlak dan kepribadiannya. Jika dasar kepribadian itu
terbentuk karena trauma dan akhirnya menghasilkan anak-anak yang seperti robot.
Tak berakhlak baik meskipun pintar. Maka tak ada salahnya kita mempertimbangkan
lagi apakah sudah tepat menyekolahkannya atau tidak. Pendidikan usia dini juga
bisa dilakukan di rumah, jika orangtua memiliki waktu yang cukup dan informasi
yang dapat dengan mudah didapatkan baik dari bantuan buku pembimbing ataupun
informasi melalui berbagai media.....detik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar