Kamis, 08 November 2012

PROFESIONALISME GURU

PROFESIONALISME GURU PENGEMBANGAN PROFESIONALISME GURU Ada yang istimewa dalam Peringatan Hari Guru Nasional XI (Kamis, 2 Desember 2004), karena Presiden mencanangkan guru sebagai profesi. Pencanangan itu diharapkan menjadi tonggak kebangkitan guru untuk senantiasa terus meningkakan profesionalismenya dan sebagai upaya agar profesi guru menjadi daya tarik bagi putra-putri terbaik negeri ini untuk menjadi guru. Sejak itu, gairah untuk segera menetapkan undang-undang profesi guru dan dosen menjadi semakin kentara. Kini, setelah sejumlah perangkat perundang-undangan dan anggaran yang belakangan terasa agak berat sudah dipenuhi, wacana bergeser ke arah sertifikasi guru. Tak mengherankan bila kini para guru dan sejumlah orang yang punya perhatian kepada guru, memperbincangkan soal kualifikasi, kompetensi, dan sertifikasi. Sajian pendek ini, yang diharapkan akan diikuti dengan sajian-sajian lain yang bersifat lebih teknis dan substantif, dimaksudkan sebagai pengantar untuk menempatkan secara proporsional profesi guru dalam konteks profesionalisasi keguruan. Hajatnya sederhana, bila dikehendaki atau menghendaki guru diterima dan diakui sebagai profesi, maka para guru sendiri harus memahami apa sebenarnya makna dan bagaimana tanggungjawab profesional itu. Secara agak sengaja, kupasan tentang sejumlah keistimewaan, misalnya gaji dan penghargaan, tidak begitu ditonjolkan, karena menilik asal katanya dorongan sejati seorang profesional sebenarnya bukan penghasilan atau penghargaan, melainkan kecintaan . Akan halnya gaji dan penghargaan atas suatu layanan profesional, harus disikapi sebagai konsekuensi dari layanan profesional yang penuh pengabdian dan kecintaan. Vokasi, Okupasi, dan Profesi Masyarakat sekarang cenderung mengacaukan pengertian kata "profesi". Kekacauan pertama, kata "profesi" dianggap sama dengan pekerjaan dan atau matapencaharian . Kekacauan kedua, profesi dipandang sebagai keseluruhan penge¬tahuan dan keterampilan teknis yang harus dikuasai untuk melakukan suatu pekerjaan, tanpa ada tali-temali dengan persoalan-persoalan etika yang melekat pada pekerjaan itu. Kedua kekacauan itu bersumber kepada kesalahan pemahaman tentang makna kata "profesi". Menurut sebuah kamus, berarti suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut pendidikan tinggi khusus dan rangkaian latihan intensif dan berjangka panjang Kata ini berasal dari kata Latin derivasi dari kata yaitu menyatakan secara terbuka di hadapan umum. Tidak berhenti di situ, kekacauan juga menyangkut hubungan antara pengertian "akademik" dengan pengertian "profesional." Pendidikan profesional adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk memangku jabatan-jabatan yang bersifat tertutup yang lazimnya dilindungi undang-undang. Sebagai contoh jabatan kedokteran, jabatan ke-insinyur-an, jabatan bidang hukum, dan sebagainya. Sebaliknya, pendidikan akademik adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk melakukan telaah-telaah keilmuan Pendidikan akademik menekankan penguasaan ilmu-ilmu dasar , seperti fisika, biologi, sosiologi, ilmu politik dan ilmu ekonomi. Program studi akuntansi, misalnya jelas merupakan pendidikan profesi, sedangkan program studi ekonomi pembangunan adalah pendidikan akademik. Kerancuan antara konsep "profesi" dengan konsep "okupasi" terletak pada fungsi pekerjaan yang sama-sama untuk memperoleh nafkah, sehingga menganggap diri atau dianggap oleh masyarakat sebagai pemain profesional, sekalipun kemahiran atau ke¬ahlian mereka tidak cukup tinggi menurut tuntutan profesionalisme. Tuntutan profesionalisme ini pun berbeda dari masyarakat yang satu ke masyarakat yang lain, bergantung pada perbedaan mutu pelatihan, tuntutan dan persaingan di kedua lingkungan tersebut. Karena itu, setiap usaha pendidikan profesional dan upaya profesionalisasi harus terlebih mengajukan pertanyaan: Apakah ukuran, kriteria, atau standar profesionalisme yang dipergunakan sebagai acuan dalam program pendidikan atau program pengembangan profesionalisme tersebut merupakan standar berkeabsahan? Bukan tidak mungkin, misalnya, pada bidang yang mempunyai standar internasional, ketidak-sesuaian standar akan membuat seseorang tidak mampu bersaing melawan tenaga-tenaga profesional dari negara lain. Satu persoalan lagi harus dicatat, yaitu berkenaan dengan dinamika profesi. Ketika ilmu¬-ilmu pengetahuan mengalami kemajuan begitu cepat, standar yang berlaku dalam suatu periode pasti mengalami perubahan. Standar profesionalisme, misalnya untuk bidang-bidang kedokteran, teknologi, hukum, manajemen, akuntansi, serta pendidikan telah mengalami perubahan cukup penting dibandingkan dengan standar yang berlaku sepuluh atau lima belas tahun lalu. Karena itu, pendidikan profesional dan program profesionalisasi ha¬rus selalu mengikuti perkembangan dan memutakhirkan standar yang digunakan. Kegagalan dalam pemutakhiran akan menyebabkan khalayak sasaran program hanya menguasai kecakapan profesional kedaluwarsa , yang pada gilirannya akan merugikan masya¬rakat. Kekacauan kedua tentang profesionalisme berkenaan dengan pandangan bahwa profesionalisme merupakan suatu bidang keahlian dan kemahiran semata, tanpa bersangkut-paut dengan masalah moralitas atau etika. Ketika dihadapkan pada persoalan moral dan etika, banyak tenaga profesional akan menghindar dan berkata, "Saya seorang profesional. Urusan saya bersifat teknis, dan tidak berurusan dengan masalah mo¬ral." Ini merupakan sikap dan perilaku yang keliru. Karena niscaya bersentuhan dengan kehidupan manusia, maka profesi pun memiliki dimensi moral dan etika. Kasus bendungan Kedung Ombo, misalnya, menyeruak karena ada sejumlah orang melihat rencana pembangunan bendungan ini dari segi kemanusiaan. Setiap profesi menghadapi sejumlah masalah kemanusiaan, yang tentu saja harus ditangani dengan mengacu kepada nilai-nilai moral. Profesi kedokteran, hukum, jurnalistik, guru, insinyur, dan sete¬rusnya, pada saat-saat tertentu harus berhadapan dengan masalah-masa¬lah moralitas ini. Menjadi semakin jelas, pengertian yang benar terhadap istilah "profesionalisme" mempunyai cakup¬an makna cukup luas, karena tidak hanya berkenaan dengan keahlian dan penghargaan, tetapi juga menyentuh dimensi moral. Karena itu, merupakan suatu kerharusan bagi setiap profesi untuk memiliki kode etik, yang disebut etika profesi . Kode etik ini yang berfungsi mengatur perilaku para anggota masyarakat profesi. Tentu saja, dalam setiap masyarakat profesi terdapat anggota-anggota yang mengindahkan norma-norma etika, tetapi ada juga anggota-anggota yang tidak mengindahkan sama sekali norma-norma etika. Profesi dan Profesionalisasi Keguruan Guru sebagai profesi perlu diiringi dengan pemberlakuan aturan profesi keguruan, sehingga akan ada keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi seseorang yang berprofesi guru, antara lain: Indonesia memerlukan guru yang bukan hanya disebut guru, melainkan guru yang profesional terhadap profesinya sebagai guru. Aturan profesi keguruan berasal dari dua kata dasar profesi dan bidang spesifik guru/keguruan. Secara logik, setiap usaha pengembangan profesi harus bertolak dari konstruk profesi, untuk kemudian bergerak ke arah substansi spesifik bidangnya. Diletakkan dalam konteks pengembangan profesionalisme keguruan, maka setiap pembahasan konstruk profesi harus diikuti dengan penemukenalan muatan spesifik bidang keguruan. Lebih khusus lagi, penemukenalan muatan didasarkan pada khalayak sasaran profesi tersebut. Karena itu, pengembangan profesionalisme guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah akan menyentuh persoalan: (1) sosok profesional secara umum, (2) sosok profesional guru secara umum, dan (3) sosok profesional guru sekolah dasar atau madrasah ibtidaiyah. Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi. [1]Bagaimana dengan pekerjaan keguruan? Tak diragukan, guru merupakan pekerjaan dan sudah menjadi sumber penghasilan bagi begitu banyak orang, serta memerlukan keahlian berstandar mutu atau norma tertentu. Secara teoretik, ini sejalan dengan syarat pertama profesi menurut Ritzer (1972), yakni pengetahuan teoretik . Guru memang bukan sekedar pekerjaan atau mata pencaharian yang membutuhkan ketrampilan teknis, tetapi juga pengetahuan teoretik. [2] Sekedar contoh, siapa pun bisa trampil melakukan pertolongan pertama pada kecelakaan (PPPK), tetapi hanya seorang dokter yang bisa mengakui dan diakui memiliki pemahaman teoretik tentang kesehatan dan penyakit manusia. Pun demikian dengan pekerjaan keguruan. Siapa saja bisa trampil mengajar orang lain, tetapi hanya mereka yang berbekal pendidikan profesional keguruan yang bisa menegaskan dirinya memiliki pemahaman teoretik bidang keahlian kependidikan. Kualifikasi pendidikan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan formal bidang dan jenjang tertentu .[3]Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kompetensi pedagogik menunjuk pada kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian menunjuk pada kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi profesional menunjuk pada kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kompetensi sosial menunjuk kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar. [4]Tampaknya, Kendati syarat kualifikasi pendidikan terpenuhi, tak berarti dengan sendirinya seseorang bisa bekerja profesional, sebab juga harus ada cukup bukti bahwa dia memiliki keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu. Karena itu, belakangan ditetapkan bahwa sertifikasi pendidik merupakan pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga profesional. Syarat kedua profesi adalah pemberlakuan pelatihan dan praktik yang diatur secara mandir. Kalau kebanyakan orang bekerja di bawah pengawasan ketat atasan, tak demikian dengan profesi. Pekerjaan profesional menikmati derajat otonomi tinggi, yang bahkan cenderung bekerja secara mandiri. Sejumlah pelatihan profesional masih diperlukan dan diselenggarakan oleh asosiasi profesi. Gelar formal dan berbagai bentuk sertifikasi dipersyaratkan untuk berpraktik profesional. Bahkan, pada sejumlah profesi yang cukup mapan, lobi-lobi politik asosiasi profesi ini bisa memberikan saksi hukum terhadap mereka yang melakukan praktik tanpa sertifikasi terkait. Bila tolak-ukur ini dikenakan pada pekerjaan keguruan, jelas kemantapan guru sebagai profesi belum sampai tahapan ini. Banyak guru masih bekerja dalam pengawasan ketat para atasan serta tidak memiliki derajat otonomi dan kemandirian sebagaimana layaknya profesi. Pun nyaris tanpa sanksi bagi siapa saja yang berpraktik keguruan meskipun tanpa sertifikasi kependidikan. Sistem konvensional teramat jelas tidak mendukung pemantapan profesi keguruan. Keputusan penilaian seorang guru bidang studi, misalnya, sama sekali tidak bersifat final karena untuk menentukan kelulusan, atau kenaikan kelas, masih ada rapat dewan guru. Tak jarang, dalam rapat demikian, seorang guru bidang studi harus “mengubah” nilai yang telah ditetapkan agar sesuai dengan keputusan rapat dewan guru. Dalam konteks otoritas profesional tersebut, tampak berbeda antara otonomi profesi dosen dengan otonomi profesi guru. Dengan sistem kredit semester, seorang dosen bisa membuat keputusan profesional secara mandiri dan bertanggung-jawab. Keputusan seorang dosen profesional memiliki bobot mengikat sebagaimana keputusan seorang dokter untuk memberikan atau tidak memberikan obat tertentu. Tak sesiapa pun, termasuk Ketua Jurusan, Dekan, dan bahkan Rektor, yang bisa melakukan intervensi langsung terhadap penilaian yang telah dilakukan oleh seorang dosen terhadap mahasiswanya. Tentu saja, di balik otoritas demikian, juga dituntut adanya tanggung-jawab dan keberanian moral seorang tenaga profesional. Guru bukan pedagang. Itu jelas, karena seorang pedagang yang baik hanya punya satu dorongan, yaitu memuaskan pelanggan agar mendapatkan keuntungan bagi dirinya. Prinsip pembeli adalah raja, tidak berlaku dalam pekerjaan profesional keguruan. Ini terkait dengan syarat profesi ketiga, yaitu: kewenangan atas klien . Karena memiliki pendidikan formal dan nonformal ekstensif, para profesional mengakui dan diakui memilik pengetahuan yang tak sesiapa pun di luar profesi yang bersangkutan dapat memahami secara penuh pengetahuan tersebut. Karena pengakuan demikian, maka seorang profesional melakukan sendiri proses asesmen kebutuhan, diagnosis masalah, hingga pengambilan tindakan yang diperlukan beserta tanggung-jawab moral dan hukumnya. Seperti seorang dokter yang tidak bisa didikte oleh seorang pasien untuk memberikan jenis perlakuan dan obat apa, demikian pula tak seorang peserta didik atau bahkan orangtua mereka yang berhak mendikte materi, metode dan penilaian seorang guru. Guru profesional tidak boleh terombang-ambing oleh selera masyarakat, karena tugas guru membantu dan membuat peserta didik belajar. Perlu diingat, seorang guru atau dosen memang tidak diharamkan untuk menyenangkan peserta didik dan mungkin orangtua mereka. Namun demikian, tetap harus diingat bahwa tugas profesional seorang pendidik adalah membantu peserta didik belajar , yang bahkan terlepas dari persoalan apakah mereka suka atau tidak suka. Syarat terakhir, pekerjaan profesional juga ditandai oleh orientasinya yang lebih kepada masyarakat daripada kepada pamrih pribadi . Pekerjaan profesional juga dicirikan oleh semangat pengutamaan orang lain dan kemanfaatan bagi seluruh masyarakat ketimbang dorongan untuk memperkaya diri pribadi. Walaupun secara praktik boleh saja menikmati penghasilan tinggi, bobot cinta altruistik profesi memungkinkan diperolehnya pula prestise sosial tinggi. Adapun karakteristik profesional minimum guru, berdasarkan sintesis temuan-temuan penelitian, telah dikenal karakteristik profesional minimum seorang guru, yaitu: (1) mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) menguasai secara mendalam bahan belajar atau mata pelajaran serta cara pembelajarannya, (3) bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, dan (5) menjadi partisipan aktif masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya. [5]Secara substantif, sejumlah karakteristik tersebut sudah terakomodasi dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur standar kualifikasi akademik dan kompetensi guru. Beberapa di antaranya adalah: (1) menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, sosial, kultural, emosional, dan intelektual, (2) menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik, (3) mengembangkan kurikulum yang terkait dengan bidang pengembangan yang diampu, (4) menyelenggarakan kegiatan pengembangan yang mendidik, (5) memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan yang mendidik, dan (6) memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki. Mencermati sejumlah materi sajian dalam kegiatan pendidikan dan pelatihan guru dalam jabatan ini, tampak jelas bahwa penekanan yang diberikan pada aspek kompetensi, sedangkan aspek-aspek lain dari penguatan profesi belum cukup tampak dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan ini. Karena itu, saya berharap agar sejumlah aspek yang masih tercecer bisa diagendakan di luar kurikulum tertulis , agar sosok profesional guru madrasah ibtidaiyah atau sekolah dasar yang dihasilkan merupakan sosok profesional yang utuh. Akhirnya, memang masih cukup panjang dan berliku jalan untuk menegakkan profesi keguruan. Selain keharusan untuk menuntaskan persyaratan kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi, masih ada tantangan yang lebih berdimensi legal dan moral. Namun demikian, satu atau dua langkah sudah berhasil dilakukan. Kalau dari perspektif kemauan politik sudah pengakuan terhadap profesi guru dan dosen sudah diundangkan, maka dari perspektif guru sendiri juga harus ada usaha untuk senantiasa memantapkan profesinya. Kalau transformasi organisasi profesi berhasil dilakukan, maka letak kendali profesi keguruan, seperti kewenangan sertifikasi, evaluasi dan pemberian sanksi, juga bergeser dari ranah politik pemerintah ke ranah profesi keguruan. Karena pergeseran letak kendali dari pemerintah ke organisasi profesi menyangkut kewenangan dan sumberdaya untuk sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi, maka persoalan menjadi sangat berdimensi politik serta sarat dengan konflik kepentingan. Dari perspektif struktur kekuasaan, mungkinkah para pejabat birokrasi pendidikan yang masih berkecenderungan senantiasa memperluas bidang kekuasaan, merelakan terjadinya redefinisi kekuasaan menjadi lebih terbatas? Atau, bisakah watak birokrasi pendidikan kita yang senantiasa ingin memusatkan kekuasaan pada sekelompok kecil orang, diubah agar terjadi redistribusi kekuasaan kepada masyarakat sipil seperti organisasi profesi keguruan? Dari perspektif kultur masyarakat, bisakah kita mengubah mentalitas masyarakat berorientasi serba-negara ini menjadi masyarakat yang berorientasi pada jasa nyata dan prestasi ? Beranikah para guru mengambil-alih kembali sebagian kewenangan yang sudah cukup lama kita serahkan kepada negara dan atau pemerintah? Bila jawaban positif kita berikan, maka sudah saatnya kita menyiapkan kata perpisahan kepada sertifikasi, akreditasi, dan evaluasi oleh pemerintah. Sudah saatnya organisasi profesi keguruan melakukan sertifikasi profesi keguruan. Sudah saatnya akreditasi sekolah dan perguruan tinggi dilakukan oleh lembaga independen. Sudah saatnya pula pelaksanaan dan keputusan hasil evaluasi peserta didik dilakukan oleh para pendidik profesional. Sekian. [1] Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. [2] Sakban Rosidi, Sistem Kredit dan Profesionalisasi Keguruana, 13 Maret 2007. [3] Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. [4] Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. [5] Supriadi, D. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998.

Rabu, 03 Oktober 2012

Citra Diri Pemimpin

Perkembangan suatu organisasi, apakah baik atau buruk, tergantung pada pemimpinnya. Organisasi itu akan menjadi baik, jika di pimpin oleh seorang pemimpin yang memiliki citra diri yang baik. Sebaliknya jika pemimpinnya memiliki citra diri yang buruk, tentu bawahannya akan mengikutinya, dan pada akhirnya organisasi itu juga akan menampilkan citra diri perusahaan yang buruk pula. Mengingat bahwa image perusahaan itu sangat penting bagi pertumbuhan perusahaan, maka untuk mencapai hal ini, tentunya perusahaan tersebut harus memiliki seorang pemimpin yang mempunyai citra yang postif. Sebagai contoh, jika seorang pemimpin pada suatu perusahaan memiliki Integritas yang baik, sudah pasti dia akan mendapatkan kepercayaan dari para bawahannya. Bila pemimpin perusahaan memiliki hati seorang pelayan – memiliki rasa kasih sayang – tentu para bawahannya akan berkomitmen untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik. Bila pemimpin perusahaan mengurus perusahaan dengan serius dan penuh tanggung jawab, pasti para bawahannya akan menunjukkan loyalitas yang begitu besar pada perusahaan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa apapun yang di lakukan oleh bawahan kita, sebetulnya merupakan cerminan dari apa yang kita lakukan. Kita tahu bahwa seorang pemimpin adalah sebuah figur panutan, jika figur ini positif, tentu bawahan itu mengikutinya. Pemimpin Yang Efektif Perusahaan akan berkembang dengan baik, jika perusahaan itu di urus oleh seorang pemimpin yang memiliki citra diri yang positif. Jika tidak, maka perusahaan itu akan keluar dari rel dan hancur. Sebab jika seorang pemimpin yang tidak memiliki Kejernihan dalam Berpikir, maka dia bisa membimbing perusahaan itu memasuki kesulitan dan terjebak kedalam berbagai macam masalah. Oleh karena itu untuk menjadi pemimpin yang efektif, dia harus tahu akan kebenaran ( prinsip ) dan berjalan pada kebenaran. Prinsip-prinsip ini harus menyatu dengan dirinya, dan menjadi Jiwa pemimpin itu. Jika jiwa pemimpin itu di penuhi dengan prinsip-prinsip kebenaran, maka dia akan mengarahkan perusahaan itu pada arah yang benar. Membangun Citra Diri Positif Di atas telah saya sampaikan bahwa menjadi pemimpin yang efektif haruslah memiliki citra diri yang positif. Citra ini tidak muncul dengan sendirinya atau kebetulan, tetapi melalui suatu proses pembentukan dan pengembangan yang terus menerus. Citra ini terdiri dari dua bagian, lihat gambar di atas, pertama adalah penampilan yang umum di kenal dengan body image dan yang kedua adalah self-image atau karakter. Keduanya ini harus selaras, maksudnya sebagai seorang pemimpin tidak hanya positif dalam hal penampilan, tetapi yang jauh lebih penting adalah positif dalam hal karakter. 1.Body Image / Penampilan Memiliki tubuh yang sehat; berpakaian yang rapi, bersih dan sopan; assesories, tata rias rambut dan wajah yang baik; nampak ceria dan bersemangat. 2.Self-Image / Karakter Memiliki karakter yang baik seperti : A.Integritas B.Kasih sayang C.Tanggung jawab D.Rasa percaya diri E.Sabar F.Disiplin G.Mampu mengendalikan diri Karakter seperti ini tidak muncul secara kebetulan, dia harus di bentuk dan di kembangkan. Oleh karena itu, bila kita ingin menjadi seorang pemimpin yang memiliki citra diri dengan karakter seperti ini, kita harus terus-menerus meluangkan waktu untuk membentuk, mengembangkan dan mempraktekan dalam aktivitas sehari-hari. Karakter lebih penting dari pada penampilan. Karakter inilah jiwa kita. Sukses tidaknya seseorang dalam memimpin perusahaan, sangat di pengaruhi oleh karakter ini. Mengapa ? Saat kita memimpin perusahaan, kita akan berkomunikasi dengan para bawahan kita, dan juga dengan orang-orang di luar perusahaan, seperti para relasi dan customers. Respons-respons yang datang dari para bawahan ataupun para relasi akan mencerminkan sebarapa efektif kita memimpin perusahaan itu. Jika lebih banyak respons negatif yang kita dapatkan, tentu kita kurang efektif dalam memimpin. Dan mengapa respons negatif itu muncul ? ini adalah reaksi dari citra diri kita sendiri. Pembaca yang budian, jika anda ingin menjadi seorang pemimpin yang efektif, tidak ada jalan lain kecuali anda harus membentuk dan mengembangkan citra diri positif yang berlandaskan pada kebenaran atau prinsip. Sebab Citra Diri Positif adalah Landasan atau Pondasi bagi keberhasilan anda.

NASA Temukan ''Gajah'' di Mars

Tucson - Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) dikejutkan oleh pemandangan unik di permukaan planet Mars. Dari luar angkasa, alat High Resolution Imaging Science Experiment (HiRISE) yang terpasang pada Mars Reconnaissance Orbiter milik NASA menangkap gambar penampakan gajah. Ya, seekor gajah. Banjir lahar kering di permukaan planet merah telah menciptakan pemandangan yang sangat mirip dengan bentuk mata dan belalai gajah. Lekukan dahi serta gading binatang berukuran besar itu juga muncul dalam foto terbaru yang diambil beberapa hari lalu. "Ini contoh yang baik dari fenomena ''pareidolia,'' yakni saat kita melihat hal-hal (seperti hewan) yang tidak benar-benar ada," kata Alfred McEwen, ahli geologi planet dari University of Arizona, Amerika Serikat, dalam situs HiRISE. Menurut McEwen, gambar ilusi gajah di Mars menunjukkan suatu wilayah di planet merah yang disebut Elysium Planitia. Wilayah itu merupakan kawasan termuda di Mars yang sering mengalami banjir lahar. Para ilmuwan tidak yakin apakah aliran lahar di Mars diendapkan secara cepat atau dalam waktu yang lebih lama seperti halnya di Bumi. Di planet biru, banjir lahar dapat diendapkan di tempat yang sama selama tahunan hingga puluhan tahun. "Ini menjadi bukti banyaknya aliran banjir di Mars." kata McEwen. "Banjir lahar yang benar-benar nyata." Mars Reconnaissance Orbiter, yang telah mengelilingi Mars sejak 2006, diluncurkan tahun 2005. Mesin pengorbit itu saat ini sedang dalam fase perpanjangan misi. Pejabat NASA mengatakan Mars Reconnaissance Orbiter mengirimkan lebih banyak data ke Bumi dari semua misi antarplanet lainnya yang digabungkan….TEMPO

BAGAIMANA TERJADINYA BADAI MATAHARI 2012

BAGAIMANA TERJADINYA BADAI MATAHARI 2012. Badai matahari adalah siklus rutin yang dijalani pusat tata surya Galaksi Bimasakti. Badai terjadi ketika matahari mengeluarkan gelombang elektromagnetiknya ke luar orbit yang dicirikan dalam aktivitas ledakan-ledakan. Menurut dosen astronomi Institut Teknologi Bandung Dhani Herdiwijaya, ledakan matahari bisa terlihat dari Bumi melalui petunjuk adanya bintik matahari di permukaan sang surya. Bintik tersebut melambangkan dalam permukaan matahari yang membara akibat sedang terjadi letupan-letupan. "Seperti hubungan pendek arus listrik atau korsleting," ujar dia saat dihubungi Rabu, 25 Januari 2012. Korsleting di pusat tata surya tentu berbeda dengan sekadar korsleting lampu. "Energi yang dipancarkan besar sekali," papar Dhani. Energi dalam bentuk gelombang inilah yang mengalir menembus aneka planet. Mulai dari yang terdekat dengan matahari, yaitu Merkurius, lalu ke Venus, dan Bumi hingga habis energinya. Sepanjang perjalanan, gelombang ini diikuti oleh Ejeksi Massa Korona, yaitu lontaran massa dari korona matahari, terutama proton, dengan kecepatan tinggi. Karena mengandung proton berkecepatan tinggi, Dhani menuturkan, gelombang tersebut bisa merusak apa yang dilewatinya, termasuk satelit komunikasi hingga satelit Global Positioning System (GPS). "Semakin tinggi posisi satelit, semakin riskan kena pengaruh gelombang," kata Dhani. Begitu pula sampah-sampah antariksa juga bisa berubah posisi karena sambaran Ejeksi Massa Korona. Pada kejadian badai matahari 23 Januari kemarin, khusus untuk Indonesia tidak terlalu terasa dampaknya. Tapi, Dhani mengingatkan, tahun depan kemungkinan terjadi puncak siklus badai matahari. "Artinya, frekuensi ledakan paling banyak karena bintik matahari juga semakin bertambah," ujar dia. Dampak dari badai matahari di 2013 bisa terasa pada puncak siklus ataupun setelah badai. "Biasanya terjadi pada kuartal awal tahun atau semester pertama," ucap dia......TEMPO

Senin, 17 September 2012

ADU STRATEGI HADAPI 20 TIPE UN

ADU STRATEGI HADAPI 20 TIPE SOAL UN JAKARTA, KOMPAS.com - Sekolah, terutama para guru yang bertugas menyiapkan siswanya untuk menghadapi Ujian Nasional (UN) model baru, kini sudah mulai memetakan strateginya. Hal ini terkait rencana pemerintah yang akan mengeluarkan kebijakan baru membuat 20 tipe soal UN untuk mengurangi kecurangan, dan mengintegrasikan hasil UN sebagai instrumen untuk masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Guru Bidang Kurikulum SMAN 68 Jakarta Anwar Fari mengatakan, jika standar kompetensi lulusan sudah diperbaharui melalui sistem tersebut, sekolah akan tetap memperhatikan kompetensi dasar dan melakukan persiapan lebih dalam. "Kalau sudah ada surat keputusan dan acuan yang jelas, sekolah akan mengikutinya," ujar Farid saat dihubungi kompas.com, Senin (17/9/2012). Meski belum digulirkan secara resmi, Farid mengatakan rencana pengadaan 20 tipe soal UN bisa membawa perubahan. Menanggapi hal demikian, sekolah hanya akan mengajak para siswa untuk belajar lebih giat lagi. "Belajar saja terus dari tahun lalu juga seperti itu, maka kalau ada perubahan lagi, nanti diberitahukan kepada siswa untuk lebih giat lagi menghadapi tantangan baru. Dan lagi pula, ini sebenarnya tidak ada perbedaan, hanya porsinya saja," kata Farid. Menurut Farid, sebenarnya soal yang nanti diberikan pada siswanya adalah sama, yakni berjenis multiple choice. Sifatnya juga lebih kepada pemahaman materi dari setiap mata pelajaran yang diujikan. "Jadi modelnya tetap sama-sama pilihan ganda. Persiapannya hanya perlu pemantapan khusus dengan belajar terus materinya dan menganalis bentuk dan kedalaman soal-soal," jelasnya. Sama halnya dengan tanggapan Nurliana, Kepala SMUN 94 Semanan Jakarta Barat. Dia menganggap pengadaan 20 tipe soal UN sebagai tantangan, sehingga para guru tetap perlu memikirkan strategi pembelajaran untuk mencapai semua tujuan pendidikan. "Kami akan menjadikannya tantangan. Tetap memeriksa persiapan mengajar guru, mengawasi pelaksanaan pembelajaran dan mengadakan evaluasi serta menganalisa hasil evaluasi," ucapnya, membocorkan strategi belajar mengulang atau remedial dan pengayaan belajar sesuai hasil analisis sekolahnya. "Bukan hanya itu saja, siswa pun harus diberi motivasi agar lebih semangat belajar. Bekal seperti ini juga berguna untuk hidup mereka ke depannya, karena sehebat apapun guru semua tergantung siswanya," katanya. Menurutnya, strategi yang perlu dilakukan adalah dengan membiasakan siswanya menghadapi variasi soal dari sekarang, sehingga meskipun berbeda jenisnya, materi yang diujikan tidak jauh berbeda dengan pelajaran di kelas. "Kecuali pengayaan soal-soal SMPTN terus dicampuradukkan," cetusnya….Kompas tgl 28 Sept 2012

Selasa, 17 Juli 2012

SISTIM PEMBELAJARAN ABAD 21

Sistem Pembelajaran Abad 21 dengan Project Based Learning (PBL)

Kurikulum yang dikembangkan saat ini oleh sekolah dituntut untuk merubah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher centered learning) menjadi pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (student-centered learning). Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia masa depan anak yang harus memiliki kecakapan berpikir dan belajar (thinking and learning skils). Kecakapan-kecakapan tersebut diantaranya adalah kecakapan memecahkan masalah (problem solving), berpikir kritis (critical thinking), kolaborasi, dan kecakapan berkomunikasi. Semua kecakapan ini bisa dimiliki oleh siswa apabila guru mampu mengembangkan rencana pembelajaran yang berisi kegiatan-kegiatan yang menantang siswa untuk berpikir kritis dalam memecahkan masalah. Kegiatan yang mendorong siswa untuk bekerja sama dan berkomunikasi harus tampak dalam setiap rencana pembelajaran yang dibuatnya.

Selain pendekatan pembelajaran, siswa pun harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kecakapannya dalam menguasai teknologi informasi dan komunikasi - khususnya komputer. Literasi ICT adalah suatu kemampuan untuk menggunakan teknologi dalam proses pembelajaran untuk mencapai kecakapan berpikir dan belajar siswa. Kegiatan-kegiatan yang harus disiapkan oleh guru adalah kegiatan yang memberikan kesempatan pada siswa untuk menggunakan teknologi komputer untuk melatih keterampilan berpikir kritisnya dalam memecahkan masalah melalui kolaborasi dan komunikasi dengan teman sejawat, guru-guru, ahli atau orang lain yang memiliki minat yang sama.

Aspek lain yang tidak kalau pentingnya adalah Assessmen. Guru harus mampu merancang sistem assessmen yang bersifat kontinyu - ongoing assessmen - sejak siswa melakukan kegiatan, sedang dan setelah selesai melaksanakan kegiatannya. Assessmen bisa diberikan diantara siswa sebagai feedback, oleh guru dengan rubric yang telah disiapkan atau berdasarkan kinerja serta produk yang mereka hasilkan.

Untuk mencapai tujuan di atas, pendekatan pembelajaran yang cukup menantang bagi guru adalah pendekatan pembelajaran berbasis proyek (Project-based learning atau PBL).

Di dalam mengembangkan PBL, guru dituntut untuk menyiapkan unit plan, sebagai portfolio guru dalam proses pembelajarannya.
Di dalam unit plan, guru harus mengarahkan rencana proyeknya dalam sebuah Kerangka Pertanyaan berdasarkan SK/KD yang ada dalam kurikulum. CFQ atau Curriculum frame Question adalah sebagai alat untuk mengarahkan siswa dalam mengerjakan proyeknya, sehingga sesuai dengan tujuan yang telah direncakan.

Guru harus menyiapkan materi-materi pendukung untuk kelancaran proyek siswa, demikian pula siswa harus mampu membuat contoh-contoh hasil tugasnya untuk ditampilkan atau dipresentasikan di depan temannya. Pada saat presentasi hasil proyeknya siswa mendapat kesempatan untuk melakukan assessmen terhadap temannya - peer assessmen, memberikan feedback pada hasil kerjanya.

Dalam rencana pelajaran guru pun harus memberikan kesempatan pada siswa untuk melaporkan hasil proyeknya dalam berbagai bentuk, bisa dalam bentuk blog, wiki, poster, newsletter atau laporan.
Kegiatan yang memberikan kesempatan pada siswa untuk mengembangkan kemampuan berpikir tingkat tinggi atau high order thinking harus dirancang dalam rencana pelajaran guru. Siswa diberi kesempatan untuk melakukan analisis, sintesis dan evaluasi melalui proyek yang mereka kerjakan.

PBL merupakan salah satu model pembelajaran yang berpusat pada siswa yang diyakini para ahli mampu menyiapkan siswa kita untuk menghadapi dunia kerja di abad ke-21. Menurut hasil survey The Conference Board, Corporate Voices for Working Families, Partnership for 21st Century Skills, dan The Society of Human Resources Management yang dirilis pada tanggal 2 Oktober 2006 : Apakah Mereka Siap untuk Bekerja?


A. Kecakapan paling penting untuk bisa sukses bekerja ketika lulus SMA

* Etos kerja (80%), Kolaborasi (75%), Komunikasi yang baik (70%), Tanggung jawab Sosial (63%) , Berpikir kritis sertan kemampuan memecahkan masalah (58%)


B. Kelemahan yang dimiliki siswa lulusan SMA ketika mereka diterima kerja

* Komunikasi menulis (81%), Kepemimpinan (73%), Etos kerja (70%), Berpikir kritis dan memecahkan masalah (70%), dan Pengarahan diri (58%)


C. Kecakapan apa dan objek apa yang sedang tumbuh dalam lima tahun yang akan datang?

* Berpikir kritis (78%), ICT (77%); Kesehatan dan Kesejahteraan (76%); Kolaborasi (74%), Inovasi (74%), dan Tanggung jawab finansial pribadi (72%)


Dari hasil survey di atas menunjukkan bahwa kecakapan-kecakapan yang termasuk dalam Thinking and Learning Skills (problem solving, critical thinking, collaboration, communication) menjadi kecakapan-kecakapan yang sangat penting harus dimiliki oleh siswa agar mampu bersaing dengan siswa negara lain.

Pendekatan pembelajaran yang bagaimana yang harus guru siapkan untuk mengembangkan semua kecakapan di atas? Menurut para ahli, project-based learning merupakan salah satu pendektan pembelajaran yang berpusat pada siswa yang mampu mengembangkan semua kecakapan di atas. Hal ini dikarenakan PBL memiliki karakteristik sebagai berikut:

  • Siswa menjadi pusat atau sebagai obyek yang secara aktif belajar pada proses pembelajaran.

  • Proyek-proyek yang direncanakan terfokus pada tujuan pembelajaran yang sudah digariskan dalam Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar dalam kurikulum

  • Proyek dikembangkan oleh Pertanyaan-pertanyaan sebagai kerangka dari kurikulum (curriculum-framing question)

  • Proyek melibatkan berbagai jenis dan bentuk assessmen yang dilakukan secara kontinyu (ongoing assessmen)

  • Proyek berhubungan langsung dengan dunia kehidupan nyata.

  • Siswa menunjukkan pengetahuannya melalui produk atau kinerjanya.

  • Teknologi mendukung dan meningkatkan proses belajar siswa.

  • Keterampilan berpikir terintegrasi dalam proyek.

  • Strategi pembelajarn bervariasi karena untuk mendukung oleh berbagai tipe belajar yang dimiliki oleh siswa (multiple learning style)......................admin

KISAH INSPIRASI UNTUK SUAMI/ISTRI


KISAH INSPIRASI UNTUK PARA SUAMI/ISTRI
Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.
Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.
Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.
Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.
Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.
Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.
Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkawinanku, aku juga membenci kedua orangtuaku.
Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.
Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.
“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.
Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.
Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.
Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,  ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.
Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.
Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.
Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.
Saat  pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.
Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.
Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya  dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.
Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.
Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.
Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.
Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!
Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.
Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.
Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.
Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.
 ..............................................................................

W A K TU D U N I A