PUSAKA HASTA BRATA; Calon Presiden
Harus Memiliki
Rahasia Kesuksesan Kepemimpinan Jawa
Pusaka Hasta Brata
(Wahyu Makutha Rama)
Prakata
Dalam wacana falsafah pewayangan Jawa dikenal suatu konsepsi Ilmu Luhur yang
menjadi prinsip dasar kepemimpinan a la Jawa. Yakni ilmu “Hasta Brata” atau
dikenal pula sebagai Wahyu Makutha Rama yang diterima Raden Arjuna setelah
menjalani “laku” prihatin dengan cara tapa brata dan tarak brata (Lihat : serat
Laksita Jati). Hasta berarti delapan, brata adalah “laku” atau jalan
spiritual/rohani. Hasta Brata maknanya adalah delapan “laku” yang harus
ditempuh seseorang bila sedang menjalankan tampuk kepemimpinan. Kedelapan
“laku” sebagai personifikasi delapan unsur alamiah yang dijadikan panutan watak
(watak wantun) seorang pemimpin. Kedelapan unsur tersebut meliputi delapan
karakter unsur-unsur alam yakni : bumi, langit, angin, samudra-air, rembulan,
matahari, api, dan bintang. Bila seorang pemimpin bersedia mengadopsi 8
karakter unsur alamiah tersebut, maka ia akan menjadi pemimpin atau raja yang
adil, jujur, berwibawa, arif dan bijaksana. Hal ini berlaku pula untuk
masyarakat luas, bilamana seseorang dapat mengadopsi ilmu Hasta Brata ia akan
menjadi seseorang yang hambeg utama, berwatak mulia, luhur budi pekertinya.
PUSAKA HASTA BRATA (Wahyu Makutha Rama)
Hasta Brata, atau Wahyu Makutha Rama merupakan sebuah ilmu yang termasuk bukan
ilmu sembarangan. Artinya memiliki makna yang sangat tinggi yang terkandung di
dalam prinsip-prinsip hukum alamiah di dalamnya. Dalam cerita pewayangan wahyu
Makutha Rama atau dikenal pula sebagai ilmu Hasta Brata pernah berhasil sukses
menghantarkan dua tokoh atau dua orang raja besar titisan Bathara Wisnu, yakni
Sri Rama Wijaya duduk sebagai raja di kerajaan Ayodya, dan Sri Bathara Kresna
adalah raja yang bertahta di kerajaan Dwarawati. Selanjutnya diceritakan Sri
Bathara Kresna membuka rahasia ilmu Hasta Brata kepada Raden Arjuna Wiwaha,
sebagai saudara penengah di antara Pendawa Lima. Dikatakan bahwa anasir
ke-delapan unsur alam semesta tersebut dapat menjadi teladan perilaku
sehari-hari dalam pergaulan masyarakat terlebih lagi dalam rangka memimpin
negara dan bangsa. Inilah antara lain sebagaimana yang saya maksudkan dengan
sinergi dan harmonisasi antara jagad kecil dengan jagad besar. Lihat
http://sabdalangit.wordpress.com/category/falsafah-jawa/menelisik-rahasia-filsafat-kejawen-1/
Kedelapan unsur alam semesta tersebut menggambarkan pula 8 Dewa beserta
sifat-sifatnya, seperti di bawah ini ;
1. Mulat Laku Jantraning Bantala (Bumi ; Bethara
Wisnu)
2. Mulat Laku Jantraning Surya (Matahari ; Bethara Surya)
3. Mulat Laku Jantraning Kartika (Bintang ; Bethara Ismaya)
4. Mulat Laku Jantraning Candra (Rembulan ; Bethari Ratih)
5. Mulat Laku Jantraning Samodra atau Tirta (Bathara Baruna)
6. Mulat Laku Jantraning Akasa (Langit ; Bathara Indra)
7. Mulat Laku Jantraning Maruta (Angin ; Bathara Bayu)
8. Mulat Laku Jantraning Agni (Api ; Bethara Brahma)
1. Watak Bumi
(Hambeging Kisma)
Digambarkan watak Bethara Wisnu sebagai
karakter bumi yang memiliki sifat kaya akan segalanya dan suka berderma.
Pemimpin yang mengikuti sifat bumi adalah seseorang yang memiliki sifat kaya
hati. Dalam terminologi Jawa kaya hati disebut sabardrono, ati jembar, legawa
dan lembah manah. Rela menghidupi dan menjadi sumber penghidupan seluruh
makhluk hidup. Bumi secara alamiah juga berwatak melayani segala yang hidup.
Bumi dengan unsur tanahnya bersifat dingin tidak kagetan dan gumunan,
sebaliknya bersifat luwes (fleksibel) mudah adaptasi dengan segala macam
situasi dan kondisi tanpa harus merubah unsur-unsur tanahnya. Maknanya,
sekalipun seseorang bersifat mudah adaptasi atau fleksibel namun tidak mudah
dihasut, tak mempan diprovokasi, karena berbekal ketenangan pikir, kebersihan
hati, dan kejernihan batinnya dalam menghadapi berbagai macam persoalan dan
perubahan.
Bumi juga selalu menempatkan diri berada di bawah menjadi alas pijakan seluruh
makhluk. Artinya seseorang yang bersifat bumi akan bersifat rendah hati, namun
mampu menjadi tumpuan dan harapan orang banyak. Sifat tanah berlawanan dengan
sifat negatif api. Maka tanahlah yang memiliki kemampuan efektif memadamkan
api. Api atau nar, merupakan ke-aku-an yang sejatinya adalah “iblis” yakni
tiada lain nafsu negatif dalam diri manusia. Seseorang yang bersifat bumi atau
tanah, tidak akan lepas kendali mengikuti jejak nafsu negatif.
Bumi dalam hukum adi kodrati memiliki prinsip keseimbangan dan pola-pola
hubungan yang harmonis dan sinergis dengan kekuatan manapun. Namun demikian,
pada saat tertentu bumi dapat berubah karakter menjadi tegas, lugas dan
berwibawa. Bumi dapat melibas kekuatan apapun yang bertentangan dengan
hukum-hukum keseimbangan alam. Seseorang yang memiliki watak bumi, dapat juga
bersikap sangat tegas, dan mampu menunjukkan kewibawaannya di hadapan para
musuh dan lawan-lawannya yang akan mencelakai dirinya. Akan tetapi, bumi tidak
pernah melakukan tindakan indisipliner yang bersifat aksioner dan sepihak.
Karena ketegasan bumi sebagai bentuk akibat (reaksi) atas segala perilaku
disharmoni.
2. Watak Matahari (Hambeging Surya)
Matahari
bersifat menerangi. Seseorang yang berwatak matahari akan selalu menjadi
penerang di antara sesama sebagaimana watak Bathara Surya. Mampu menyirnakan
segala kegelapan dalam kehidupan. Kapanpun dan di manapun ia akan selalu
memberikan pencerahan kepada orang lain. Matahari juga menghidupi segala
makhluk hidup baik tumbuhan, hewan dan manusia. Manfaat matahari menjadi penghangat
suhu agar tidak terjadi kemusnahan massal di muka bumi akbiat kegelapan dan
kedinginan. Seseorang yang berwatak matahari, ia menjadi sumber pencerahan bagi
kehidupan manusia, serta mampu berperan sebagai penuntun, guru, pelindung
sekaligus menjalankan dinamika kehidupan manusia ke arah kemajuan peradaban
yang lebih baik. Sikap dan prinsip hidup orang yang berwatak matahari, ia akan
konsisten, teguh dalam memegang amanat, ora kagetan (tidak mudah
terkaget-kaget), ora gumunan (tidak gampang heran akan hal-hal baru dan asing).
Seseorang watak matahari ibarat perjalanan matahari yang berjalan pelan dalam
arti hati-hati tidak terburu-buru (kemrungsung), langkah yang pasti dan
konsisten pada orbit yang telah dikodratkan Tuhan (istikomah). Lakuning
srengenge, seseorang harus teguh dalam menjaga tanggungjawabnya kepada sesama.
Tanggungjawabnya sebagai titah (khalifah) Tuhan, yakni menetapkan segala
perbuatan dan tingkah laku diri ke dalam “sifat” Tuhan. Tuhan Maha Mengetahui;
maka kita sebagai titah Tuhan hendaknya terus-menerus berusaha mencari ilmu
pengetahuan yang seluas-luasnya dan setinggi-tingginya agar ilmu tersebut
bermanfaat untuk kemajuan pradaban manusia, menciptakan kebaikan-kebaikan yang
konstruktif untuk kemaslahatan semua orang dan menjaga kelestarian alam
sekitarnya.
3. Watak Bintang
(Hambeg Kartika)
Kartika atau bintang berwatak selalu mapan dan tangguh, walaupun dihempas angin
prahara (sindhung riwut) namun tetap teguh dan tidak terombang-ambing.
Sebagaimana watak Bathara Ismaya, dalam menghadapi persoalan-persoalan besar
tidak akan mundur selangkahpun bagaikan langkahnya Pendawa Lima. Sifat Bethara
Ismaya adalah tertata, teratur, dan tertib. Mampu menghibur yang lagi sedih,
dan menuntun orang yang sedang mengalami kebingungan, serta menjadi penerang di
antara kegelapan. Seseorang yang mengadopsi perilaku bintang, akan memiliki
cita-cita, harapan dan target yang tinggi untuk kemakmuran dan kesejahteraan
tidak hanya untuk diri sendiri namun juga orang banyak. Maka sebutan sebagai
“bintang” selalu dikiaskan dengan suatu pencapaian prestasi yang tinggi. Posisi
bintang akan memperindah kegelapan langit di malam hari. Orang yang berwatak
bagai bintang akan selalu menunjukkan kualitas dirinya dalam menghadapi
berbagai macam persoalan kehidupan.
4. Watak
Rembulan (hambeg Candra)
Candra atau
rembulan, berwatak memberikan penerang kepada siapapun yang sedang mengalami
kegelapan budi, serta memberikan suasana tentreman pada sesama. Rembulan
membuat terang tanpa membuat “panas” suasana (dapat ikannya, tanpa membuat
keruh airnya). Langkah rembulan selalu membuat sejuk suasana pergaulan dan
tidak merasa diburu-buru oleh keinginannya sendiri (rahsaning karep). Watak
rembulan menggambarkan nuansa keindahan spiritual yang mendalam. Selalu eling
dan waspadha, selalu mengarahkan perhatian batinnya senantiasa berpegang pada
kodrat Ilahi (musyahadah). Lakuning rembulan, seseorang mampu “nggayuh
kawicaksananing Gusti” artinya mampu memahami apa yang menjadi kehendak
(kebijaksanaan) Hyang Widhi. Setelah memahami, lalu kita ikuti kehendak Tuhan
menjadi sebuah “laku tapa ngeli” artinya kita hanyutkan diri pada kehendak
Ilahi. Witing klapa salugune wong Jawa, dhasar nyata laku kang prasaja.
Orang yang berwatak rembulan, selalu mengagumi keindahan ciptaan Tuhan
yang tampak dalam berbagai “bahasa” alam sebagai pertanda kebesaran Tuhan.
Rembulan purnama menjadi bahasa kebesaran Tuhan yang indah sekali. Orang-orang
tua dan anak-anak zaman dahulu selalu bersuka ria saat merayakan malam bulan
purnama. Karena menyaksikan keindahan malam bulan purnama, bagai membaca
“ayat-ayat” Tuhan, mampu menggugah kesadaran batin dan akal-budi manusia akan
keagungan Tuhan. Sayang sekali kebiasaan itu sudah dianggap kuno, kalah dengan
hiburan zaman modern yang kaya akan tawaran-tawaran hedonis. Bahkan secara
agama, kebiasaan merayakan “padhang mbulan“ oleh orang-orang tertentu dianggap
sebagai tradisi yang sia-sia karena tidak menimbulkan pahala. Padahal bulan
purnama memiliki khasiat lain sebagai media terapi lahir dan batin di saat
terjadi berbagai kegelisahan jiwa. Sinar bulan purnama sangat baik untuk
mengobati segala macam penyakit dengan cara menjemur diri di bawah sinar bulan
purnama. Apalagi disertai dengan semedi sebagai wahana olah raga dan olah rasa.
Itulah mengapa leluhur kita zaman dahulu melakukan semadi pada saat datangnya
bulan purnama.
5. Watak
Samodra
Mengambil sisi positif dari watak samodra. Samodra atau lautan
memiliki karakter yang dapat memuat apa saja yang masuk ke dalamnya. Walaupun
berupa sampah industri dan rumah tangga, bangkai anjing, bangkai manusia, semua
dapat diterima dengan sikap tulus tidak pernah menggerutu. Dalam terminologi
Jawa terdapat kalimat permohonan maaf sebagai berikut; nyuwun lumebering sih
samodra pangaksami bilih wonten kathahing kalepatan. Watak samudra maknanya
adalah hati yang luas, penuh kesabaran, serta siap menerima berbagai keluhan
atau mampu menampung beban orang banyak tanpa perasaan keluh kesah. Samodra
menggambarkan satu wujud air yang sangat luas, namun di dalamnya menyimpan
kekayaan yang sangat bernilai dan bermanfaat untuk kehidupan manusia. Namun
samodra tidak pernah pamer potensinya yang bernilai besar kepada orang banyak.
Samodra memendam segala kemampuan, kelebihan dan potensinya berada dalam
kandungan air yang dalam. Watak samodra menggambarkan jalma tan kena kinira,
orang yang tampak bersahaja, tidak norak, tidak dapat disangka-sangka
sesungguhnya ia menyimpan potensi yang besar di berbagai bidang, namun
tabiatnya sungguh jauh dari sifat takabur, atau sikap menyombongkan diri.
Manusia watak samodra, tidak pernah membeda-bedakan golongan, kelompok, suku,
bangsa, dan agama. Semua dipandang sama-sama makhluk ciptaan Tuhan yang
memiliki kesamaan derajat di hadapan Tuhan. Yang mebedakan adalah akal-budinya,
keadaan batin, serta perbuatannya terhadap sesama. Dalam bidang keilmuan, watak
samodra akan sangat arif dan bijaksana. Sekalipun berilmu tinggi ia sangat
merendah bahkan berlagak bodoh. Sebagaimana watak Bima Sena, yang mampu
menutupi (tidak pamer) akan ilmunya yang luas, sehingga dapat menyesuaikan diri
secara sempurna dengan siapapun dan di manapun ia berada. Satu lagi, watak
samodra yang paling dahsyat adalah kemampuannya untuk menetralisir segala yang
kotor dan polutan. Limbah tak bertanggungjawab yang dibuang ke laut akan
diproses secara-pelan-pelan dan akhirnya racun dan bakteri yang masuk ke laut
akan tak berdaya bergulat dengan molekul air samodra yang jenuh akan unsur
garam. Orang berwatak samodra akan mampu mengurai dan memberikan jalan
penyelesaian berbagai problema yang ia hadapi, maupun problema yang dialami
orang lain. Bersediakah Anda berwatak nyegoro ?
Watak Air (Hambeg Tirta)
Mengambil sisi positif dari watak maruta. Tirta atau air berwatak selalu rendah
hati dalam perilaku badan (solah) dan perilaku batin (bawa) atau andhap asor.
Selalu menempatkan diri pada tempat yang rendah, umpama perilaku dinamakan
rendah hati (lembah manah) dan sopan santun (andhap asor). Orang yang berwatak
air akan selalu rendah hati, mawas diri, bersikap tenang, mampu membersihkan
segala yang kotor. Air selalu mengalir mengikuti lekuk alam yang paling mudah
dilalui menuju samodra. Air adalah gambaran kesetiaan manusia pada sesama dan
pada kodrat Tuhan. Air tidak pernah melawan kodrat Tuhan dengan menyusuri jalan
yang mendaki ke arah gunung, meninggalkan samodra. Orang yang berwatak air,
perbuatannya selalu berada pada kehendak Tuhan, jalan yang ditempuh selalu
diberkahi Gusti Kang Murbeng Dumadi. Sehingga watak air akan membawa seseorang
menempuh jalan kehidupan dengan irama yang paling mudah, dan pada akhirnya akan
masuk kepada samodra anugrah Tuhan Yang Maha Besar. Tapi jangan mengikuti watak
air bah, tsunami, lampor, rob, yang melawan kodrat Tuhan, perbuatan seseorang
yang menerjang wewaler, religi, tatanan sosial, tata krama, hukum positif, serta
hukum normatif.
Berwatak air, akan membawa diri kita dalam sikap yang tenang, tak mudah stress,
tidak mudah bingung, tidak gampang kagetan, lemah-lembut namun memiliki daya
kekuatan yang sangat dahsyat. Sikap kalem tidak bertabiat negatif. Namun hati-hatilah
karena orang sering merasa sudah mengikuti watak air, namun tidak menyadari
yang diikuti adalah air bah, maknanya adalah watak cenderung membuat kerusakan,
diburu-buru, tanpa perhitungan, asal ganyang, buta mata akan resiko, yang
penting gasak dulu, urusan dipikir dibelakang
(pecicilan/pencilakan/cenanangan/jelalatan).
6. Watak
Langit (Hambeg Akasa)
Akasa atau langit. Bersifat melindungi atau mengayomi terhadap seluruh makhluk
tanpa pilih kasih, dan memberi keadilan dengan membagi musim di berbagai
belahan bumi. Watak langit ini relatif paling sulit diterapkan oleh manusia
zaman sekarang, khususnya di bumi nusantara ini. Seorang pemimpin, negarawan,
politisi, yang mampu bersikap tanpa pilih kasih dan bersedia mengayomi seluruh
makhluk hidup, merupakan tugas dan tanggungjawab yang sangat berat. Apalagi di
tengah kondisi politik dan kehidupan bermasyarakat yang cenderung mencari
benarnya sendiri, mencari untungnya sendiri, dan mencari menangnya sendiri.
Tidak jarang seseorang, atau wakil rakyat yang hanya memperjuangkan kepentingan
partainya saja, bukan kepentingan bangsa. Bahkan anggota legislatif, pimpinan
masyarakat, para aktor intelektual, pemuka spiritual terkadang tak menyadari
sedang mengejar kepentingannya sendiri, atau kepentingan kelompoknya saja.
Orang-orang di luar diri atau kelompoknya dianggap tidak penting untuk diayomi.
Orang yang berbeda peristilahan, bahasa, budaya, adat istiadat, dan tradisi
sekalipun sebangsa dan setanah air, tetap saja diasumsikan sebagai orang yang
tak perlu di bela dan dilindungi. Bahkan orang-orang tersebut dianggap sesat,
pembual, pembohong, penipu. Prasangka-prasangka negatif ini sangat bertentangan
dengan watak akasa. Akasa atau langit akan melihat secara gamblang beragamnya
persoalan kehidupan di muka bumi ini. Kewaskitaan akasa seumpama mata satelit,
ia akan menyaksikan bahwa ternyata di atas bumi ini terdapat ribuan bahkan
jutaan jalan spiritual menuju satu titik yang sama, meskipun jalan yang
ditempuh sangat beragam dan berbeda-beda. Maka watak langit tak suka
menyalahkan orang lain, tak suka menghujat sesama, tak suka memaki dan
mengumpat sekalipun terhadap orang yang memusuhinya. Itulah watak langit,
sebagaimana terdapat pada Bethara Indra. Justru terhadap semua manusia apapun
watak, dan bagaimanapun sikapnya Bethara Indra akan selalu ngemong sesama,
mampu mengelola watak mengalah, mampu menahan diri, meredam emosi, dan
membimbing seluruh makhluk hidup dengan cara yang penuh dengan kasih sayang.
Dalam manajemen perilaku Jawa, sikap ini selalu diutamakan terutama dalam
pasamuan, bebrayan (bermasyarakat), pertemuan, diskusi, dan dalam berbagai
pergaulan. Maka watak Jawa menuntut perilaku hambeg utama, lumuh banda, luhur
dalam budi pekerti atau solah (perilaku jasad) dan bawa (perilaku batin).
Sedangkan terhadap yang masih bodoh, sikapnya tiada pernah mempermalukan dan
meremehkan. Itulah watak Bathara Indra, sebagai watak akasa atau langit. Sayang
sekali, watak ini sudah terkena polusi “watak asing” yang menjadikan seseorang
tidak canggung mencaci orang lain yang berada di luar kelompoknya, dan
menyalahkan orang yang tak sepaham dengannya. Salah satu sikap, bila ingin
mengaplikasi watak Bathara Indra, bilamana kita berangkat dengan kesadaran
bahwa ilmu pengetahuan yang kita kuasai seumpama sebutir debu yang beterbangan,
maka kita tak akan pernah memiliki watak merasa paling benar dan pandai. Karena
rahasia ilmu yang terdapat di jagad raya ini adalah sebanyak debu yang ada di
seluruh alam semesta.
7. Watak Angin (Hambeg Maruta)
Maruta atau angin atau udara. Mengambil sisi positif dari watak angin Bathara
Bayu. Angin memiliki watak selalu menyusup di manapun ada ruang yang hampa,
walau sekecil apapun. Angin mengetahui situasi dan kondisi apapun dan bertempat
di manapun. Kedatangannya tidak pernah diduga, dan tak dapat dilihat. Seseorang
yang berwatak samirana atau angin, maknanya adalah selalu meneliti dan
menelusup di mana-mana, untuk mengetahui problem-problem sekecil apapun yang
ada di dalam masyarakat, bukan hanya atas dasar kata orang, katanya, konon,
jare, ceunah ceuk ceunah. Watak angin mampu merasakan apa yang orang lain
rasakan (empati), orang berwatak angin akan mudah simpati dan melakukan empati.
Watak angin sangat teliti dan hati-hati, penuh kecermatan, sehingga seorang
yang berwatak angin akan mengetahui berbagai persoalan dengan data-data yang
cukup valid dan akurat. Sehingga menjadi orang yang dapat dipercaya dan setiap
ucapannya dapat dipertanggungjawabkan.
8. Watak Api (Hambeg Agni)
Agni atau api atau dahana. Yang diambil
adalah sisi positif dari watak api yakni Bathara Brahma. Watak api adalah
mematangkan dan meleburkan segala sesuatu. Seorang yang mengambil watak api
akan mampu mengolah semua masalah dan kesulitan menjadi sebuah pelajaran yang
sangat berharga. Ia juga bersedia untuk melakukan pencerahan pada sesama yang
membutuhkan, murah hati dalam mendidik dan menularkan ilmu pengetahuan kepada
orang-orang yang haus akan ilmu. Mematangkan mental, jiwa, batin sesama yang
mengalami stagnansi atau kemandegan spiritual. Api tidak akan mau menyala tanpa
adanya bahan bakar. Maknanya seseorang tidak akan mencari-cari masalah
yangbukan kewenangannya. Dan tidak akan mencampuri urusan dan privasi orang
lain yang tidak memerlukan bantuan. Api hanya akan melebur apa saja yang
menjadi bahan bakarnya. Seseorang mampu menyelesaikan semua masalah yang
menjadi tanggungjawabnya secara adil (mrantasi ing gawe). Serta tanpa
membeda-bedakan mana yang mudah diselesaikan (golek penake dewe), dan tidak
memilih berdasarkan kasih (pilih sih) , memilih berdasarkan kepentingan pribadinya
(golek butuhe dewe).
KEDALAMAN MAKNA HASTA BRATA
Kebulatan dalam menerapkan Hasta Brata dapat menumbuhkan sikap dan tekad bulat
menetapkan diri pada kodrat Gusti Kang Akarya Jagad serta menjauhkan diri dari
segala sikap berseteru dengan Tuhan, sebaliknya selalu eling dan wasadha, dapat
menselaraskan antara ucapan dengan perbuatan. Selalu mengutamakan sikap sabar
dalam menghadapi semua kesulitan dan penderitaan, berpendirian teguh tidak
terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu, tidak bersikap gugon tuhon
atau anut grubyug (taklid), ela-elu, sikap asal–asalan. Pikiran kritis, hati
yang bersih, batin yang selalu bening tidak berprasangka buruk, serta tidak
mencari-cari keburukan orang lain. Bersikap legawa dan menerima apa adanya akan
hasil akhir (qona’ah) terhadap apa yang diperolehnya. Dengan tetap memiliki
semangat juang dan selalu berusaha tanpa kenal putus asa.
Dimilikinya watak, sifat, karakter, tabiat sebagaimana terangkum dalam Hasta
Brata yang dapat membuka “olah rasa” untuk selalu eling mampu berkecimpung
dalam pergaulan luas dan segala tatanan masyarakat. Pasrah dengan bersandar
pada kecermatan fikir dan kebersihan nalar. Untuk mengupayakan jalan hidup agar
tidak keluar dari rambu-rambu dalam mewujudkan harapan, serta menciptakan ketenteraman,
keselamatan dan kesejahteraan bersama. Demikianlah nilai-nilai kepemimpinan
yang terkandung di dalam falsafah Hasta Brata yang menjadi pusaka pegangan
Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bethara Kresna sewaktu jumeneng raja di tlatah
Ayodya Pala. Yang diwejangkan juga kepada Raden Arjuna.
Ada tiga nilai terpenting yang dapat dijadikan benang merah :
Pertama; pola kepeminpinan Prabu Rama Wijaya dan Prabu Sri Bathara Kresna yang
menjadi nilai-nilai luhur dan patut menjadi teladan bagi siapapun yang menjadi
pemimpin bangsa ini. Beliau berdua mampu memimpin negara dengan adil dan
bijaksana, sehingga nama keduanya sangat harum di mata rakyatnya.
Kedua; walaupun bertemakan kepemimpinan, namun nilai-nilai luhur yang
terkandung di dalamnya dapat menjadi teladan siapapun, sekalipun bukan pimpinan
negara, karena setiap manusia minimal menjadi pemimpin atas dirinya sendiri.
Bila seseorang mampu menghayati dan mengamalkan pusaka Hasta Brata pastilah
akan menemukan keharmonisan dalam kehidupan dan pergaulan masyarakat.
Ketiga; bila kita meneladani kedelapan bagian dari jagad raya tersebut berarti
kita memasuki wilayah spiritual yang bernilai religiusitas tinggi. Membaca
tanda-tanda alam sama halnya memahami kegungan Tuhan. Ibarat membaca ayat-ayat
Tuhan yang tersirat dalam bahasa kebijaksanaan kodrat alam. Umpama kalimat
tanpa tulisan, papan tulis tanpa ada tulisan. Dapat juga dipersonifikasikan
sebagai “tapaking kuntul anglayang”.
MAKNA TAK
TERTULIS
Alam semesta beserta seluruh tanda-tandanya sebenarnya merupakan ayat yang
tersirat. Jika mau jujur, lihat dan cermatilah kebijaksanaan yang tampak dalam
bahasa alam tiada nilai yang bertentangan atau bersinggungan dengan ayat kitab
suci manapun. Ini cukup membuktikan bahwa ilmu Tuhan teramat luas tiada
batasnya.
Jika anda ingin melihat BUKTI (bukan sekedar tulisan) kebesaran Tuhan, maka
lihatlah tanda-tanda menakjubkan yang terdapat dalam ruang-ruang jagad raya.
Pergilah ke gunung, ke pantai, pandangi sunrise dan sunset, gelombang laut,
resapilah saat hujan dan badai menerpa, guntur dan kilat menyambar, semua
merupakan kalimat akan kebesaran Tuhan. Sekali lagi, makna yang tersimpan dalam
kalimat tanpa tulis dan kata-kata. Kalimat yang tidak dibatasi oleh bahasa,
suku, dan bangsa tertentu. Kata-kata dan huruf yang tidak terkungkung oleh adat
istiadat, tradisi, dan ajaran tertentu. Istilah yang tidak tergantung oleh
ilmuwan tertentu. Karena hakekatnya adalah kalimat universal, diperuntukkan
untuk segala yang hidup, tidak terbatas manusia, namun binatang dan makhluk gaib
semuanya. Tidak terbatas hanya untuk pemimpin, kepala suku, rakyat jelata,
bangsawan, orang-orang sudra. Itulah bukti nyata kebesaran Tuhan Yang maha
Tunggal, Yang lebih dari Maha Besar. Tuhan yang lebih dari Maha Adil dan
Bijaksana. Sayang sekali, manusia sering bertengkar gara-gara tak mampu
menangkap anugrah perbedaan.
Haruskah manusia dikudeta oleh binatang ? Ataukah manusia harus berguru kepada
makhluk hidup lainnya, kepada binatang melata, kepada burung, gajah, atau
bahkan kepada makhluk gaib. Karena mereka tidak pernah tercemar oleh polusi
nafsu diniawi seperti manusia, sehingga mereka masih memiliki ketajaman instink
dalam menangkap bahasa dan kalimat Tuhan. Mengerti bilamana akan terjadi
bencana dan musibah alam. Jujur saja kami sering dipaksa harus berguru kepada
mereka. Dan saya tidak terlalu berani menyombongkan diri sebagai makhluk paling
sempurna di antara semua makhluk Tuhan, hanya gara-gara memiliki akal-budi.
Bukankah kita dapat menjadi hina, lebih hina daripada binatang paling hina sekalipun,
hanya karena salah kelola akal-budi kita.
BERGURU PADA ORANG BODOH
Orang-orang zaman dulu seringkali dianggap orang bodoh, cubluk, kekolotan,
tidak canggih, tradisionil, serta udik. Penilaian subyektif hanya berdasarkan
penglihatan mata wadag dan hanya bersadarkan dari omongan ke omongan orang yang
sama-sama tidak menilai secara subyektif. Asumsi di atas merupakan hak setiap
orang melakukan penilaian. Namun perlu lebih hati-hati dalam melakukan
penilaian, sebab jika yang salah kaprah akan menjadi sia-sia bahkan merugikan
diri sendiri. Pada saat banyak orang ramai-ramai memberikan asumsi negatif akan
tradisi kuno, saat itu pula kami mencoba berfikir positif, dan bertanya-tanya
mengapa penilaian negatif itu muncul. Bagaimana seandainya saya ada di pihak
yang dinilai negatif.
Leluhur bangsa di masa lalu sejak 2500 tahun SM telah melakukan kegiatan
spiritual. Perjalanan spiritualnya semakin berkembang seiring perjalanan waktu
ke waktu. Pada intinya, leluhur masa lalu sangat menganjurkan agar manusia mengamati
tanda-tanda kebesaran Tuhan dengan mencermati alam semesta. Hal ini menimbulkan
apa yang disebut sebagai “ngelmu titen”. Ilmu untuk mencermati segenap
tanda-tanda alam sebagai wujud bahasa dan kalimat Tuhan yang tak tertulis.
Ngelmu titen diperoleh setelah seseorang rajin mencermati dan membaca
tanda-tanda alam. Dengan melakukan semadi di gunung, laut, tempat-tempat sepi.
Bukan saja mata wadag yang akan menyaksikan keagungan Tuhan, lebih dari itu,
mata batin akan turut menjadi saksi kebesaran Tuhan yang lebih dahsyat lagi,
setelah merasakan getaran energi alam, atau daya magis (metafisik) di balik
semua unsur-unsur bumi dalam Hasta Brata.
Singkat kata, dengan melakukan perenungan-perenungan, semedi, penghayatan di
tempat-tempat tertentu, yang sunyi, indah dan menakjubkan akhirnya dapat
menggugah getaran jiwa, dengan membuka kesadaran batin kita sehingga dapat
menciptakan harmonisasi atau sinergi antara energi yang ada dalam “jagad kecil”
(diri manusia) dengan “jagad besar” (alam semesta). Bila keselarasan tersebut
telah tercipta maka akan membuka pemahaman akan “jati diri Tuhan”, sehingga
muncul daya kekuatan “gaib” yang mendorong kita untuk semakin dekat kepada
Tuhan. Berkaitan dengan ilmu Hasta Brata, manusia Jawa masa lampau, memiliki
ilmu kepemimpinan yang secara kualitas lebih baik dan lebih canggih daripada
pemimpin zaman modern saat ini. Dalam artian kemampuannya untuk merumuskan
setiap fenomena yang terjadi dan mendiagnosa setiap permasalahan secara tepat,
kemudian membuat rencana problem solving kemudian melakukan manuver-manuver
yang bersifat konkrit. Meliputi berbagai bidang kehidupan, sosial, politik,
ekonomi, hukum. Bidang-bidang kehidupan dapat dideskripsikan secara cermat dan
tepat sehingga tidak melakukan kesalahan dalam membuat suatu kebijakan.
Pemimpin zaman dulu, memperoleh legitimasi dan kelanggengan kekuasaannya bukan
saja karena alur genealogis atau faktor keturunan, lebih penting dari itu
kelanggengan kepemimpinan atas dasar sistem kepemimpinan yang bijaksana, adil,
dan benar-benar mensejahterakan rakyatnya, sehingga kekuasaannya bertumpu pada
power of law kekuasaan dengan legitimasi hukum formal dan pengakuan dari
rakyat. Lain halnya dengan kebanyakan pola kepemimpinan zaman sekarang, yang
disibukkan manuver-manuver politik mempertahankan kekuasaan, bukan konsentrasi
mensejahterakan masyarakat. Sehingga legitimasi politiknya terbalik menjadi law
of the power, ia menciptakan “hukum” demi mempertahankan kekuasaannya.
Kelemahan paling besar pemimpin zaman sekarang adalah kurang mampu
berkomunikasi dengan bahasa alam yang mengisyaratkan pesan-pesan penting dan
gaib, apa yang harus dilakukan saat ini dan masa mendatang. Mungkinkah para
pemimpin terlalu meremehkan bahasa alam ? Sementara Tuhan mengirimkan
isyaratNya melalui bahasa alam itu. Maka terjadilah deadlock, yakni kemacetan
komunikasi antara manusia dengan Tuhannya.
sabdalangit